STUDI DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI KECAMATAN CENGKARENG KECAMATAN PALMERAH DAN KECAMATAN GROGOL PETAMBURAN PROPINSI DKI JAKARTA

Hohoho...kalau baca judulnya rasanya mantap banget yaaaa... =D
Sekedar ingin berbagi saja... 
Ini tugas yang saia buat semester lalu untuk kuliah Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan di Program Pascasarjana Magister Pengelolaan Lingkungan (MPL) UGM.. Kami ditugaskan membuat proposal penelitian yang terkait dengan penyakit-penyakit bersumber hewan...

Setelah agak lama mencari, mencari, dan mencari bahan di internet bahkan ke perpustakaan kedokteran untuk mencari jurnal-jurnal demi mendapatkan tema proposal dan nama penyakit yang 'berkenan' di hati. Lebih tepatnya memastikan temanya bukan jenis penyakit yang sulit dicari literaturnya... hahahaha....

Akhirnya pilihan saia jatuh pada penyakit Leptospirosis.. Apa itu leptospirosis dan beberapa hal tentang penyakit yang namanya tampak keren ini, bisa dibaca dalam postingan berikut ini :


1.                  Latar Belakang
            Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri leptospira dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi. Berdasarkan cara penularannya leptospirosis merupakan direct zoonosis sebab tidak memerlukan vektor, dapat pula digolongkan sebagai amfiksenosa karena penularannya dapat berlangsung dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya (Herawati, dkk, 2005). Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis adalah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung dan insektivora seperti landak, kelelawar, dan tupai (Diarmita, 2005). Penyakit ini dapat berkembang menjadi epidemi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada manusia umumnya terjadi setelah kontak dengan air tergenang yang terkontaminasi dengan kencing binatang  yang terinfeksi, atau mempunyai pekerjaan berhubungan dengan tanah basah yang terkontaminasi dengan Leptospira (Setiawan, 2006).
            Menurut International Leptospirosis Society, Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan angka kematian akibat leptospirosis relatif tinggi, yaitu berkisar antara 2,5% - 16,45% atau rata-rata 7,1% dan termasuk peringkat ketiga di dunia. Angka tersebut dapat lebih tinggi hingga mencapai 56% pada penderita yang telah berusia lebih dari 50 tahun (Fahmi, 2005).
            Pada musim hujan, di Jakarta dalam kurun waktu tahun 1998-1999 telah dirawat 51 orang penderita leptospirosis. Pada saat banjir melanda Jakarta tahun 2002, ditemukan lebih dari 100 orang penderita leptospirosis dan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Tahun 2004 pasca banjir, terindikasi 44 orang penderita leptosprosis dan sembilan orang diantaranya meninggal dunia sedangkan pada tahun 2005, tujuh orang ditemukan terjangkit leptospirosis (Zelvino, 2005). Hasil uji serologi penderita leptospirosis oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta menemukan penyebab leptospirosis di Jakarta adalah bakteri Leptospira bataviae (DInas Kesehatan DKI Jakarta, 2002).
            Daerah perkotaan di Jakarta yang hampir setiap tahun menjadi langganan banjir tentunya. Sanitasi dan kebersihan lingkungan menjadi hal yang jarang dijumpai pada daerah yang sering dilanda banjir. Seringnya kontak penduduk dengan air banjir menambah risiko kejadian leptospirosis menurut data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, leptospirosis merupakan penyakit akibat banjir yang menggemparkan saat terjadi banjir bulan Maret 2002 di Jakarta. karena banyaknya penderita yang meninggal. Dari 70 orang penderita leptospirosis, 17 orang di antaranya meninggal. Dari data yang terkumpul diketahui bahwa kasus leptospirosis ini dijumpai di seluruh wilayah DKI Jakarta, tersebar di 38 kecamatan. (DInas Kesehatan DKI Jakarta, 2002).
           
            Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan merupakan tiga kecamatan dengan kasus terbanyak leptospirosis saat banjir Jakarta tahun 2002. Ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah langganan banjir hampir setiap tahun  di Jakarta. Penyakit leptospirosis diidentifikasi disebarkan oleh tikus, melalui air kencingnya yang ikut larut bersama air banjir. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit leptospirosis dan kondisi sanitasi yang buruk saat terjadinya banjir memperbesar risiko masyarakat tertular penyakit leptospirosis.

2.                  Rasionalitas
            Banjir dapat dipastikan setiap tahun terjadi di daerah Jakarta terutama di wilayah Kecamatan Cengkareng, Kecamatan  Palmerah, dan  Kecamatan Grogol Petamburan. Setiap kali pula kasus leptospirosis dilaporkan menjangkit masyarakat pengungsi banjir pada ketiga kecamatan tersebut. Untuk itu, diperlukan identifikasi faktor-faktor  risiko yang berasosiasi dengan kejadian leptospirosis di ketiga kecamatan tersebut melalui studi dinamika penularan leptospirosis. Melalui studi dinamika penularan leptospirosis dapat diidentifikasi faktor-faktor risiko yang terkait dengan kejadian leptospirosis pada Kecamatan Cengkareng, Kecamatan  Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah yang harus diambil sebagai upaya pencegahan penularan leptospirosis serta penentuan infrastuktur yang dibutuhkan dalam penanggulangan leptospirosis. 
  
3.                  Rumusan Masalah
            Berdasarkan  latar belakang, maka permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
  1. Bagaimana dinamika penularan leptospirosis di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan Propinsi DKI Jakarta?
  2. Apakah yang menjadi faktor risiko kejadian leptospirosis di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan Propinsi DKI Jakarta?

4.                  Tujuan
            Tujuan dari diadakannya penelitian ini, adalah :
  1. Mengidentifikasi dinamika penularan leptospirosis di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan Propinsi DKI Jakarta.
  2. Mengidentifikasi faktor risiko kejadian leptospirosis di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan Propinsi DKI Jakarta?

5.                  Tinjauan Pustaka
            Leptospirosisi adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. yang termasuk ke dalam ordo Spirochaetales, family Trepanometaceae berbentuk spiral (Alexander, 2002). Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari leptospirosis ringan sampai berat. Umumnya leptospirosisi mempunyai tiga fase klinis yaitu fase leptospiremia, fase imun, dan fase penyembuhan.
  1. Fase leptospiremia ditandai oleh adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebropinal. Fase ini berlangsung selama empat sampai sembilan hari yang berakhir dengan menghilangnya seluruh gejala tersebut secara sementara.
  2. Fase imun, berkaitan dengan munculnya antibody di IgM. Nampak gejala kerusakan ginjal, hati, uremia, dan ikterik. Dapat pula terjadi meningitis aseptic, gangguan mental, halusinasi dan psikosis.
  3. Fase penyembuhan biasanya terjadi pada minggu kedua sampai dengan minggu keempat. Demam serta nyeri otot masih dijumpai yang kemudia berangsur-angsur hilang (Soedin, 1999).
            Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas, leukositosis > 12.900/mm2 , dan kelainan Elektrodiografi (EKG). Berdasarkan pendekatan diagnosis klinik dan penanganannya, beberapa ahli membagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
 
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Sindrom, fase
Gambaran klinik
Spesimen lab.
Leptospirosis anikterik
fase leptospiremia (3-7 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjuctival suffusion
Darah, cairan serebrospinal
Fase imun (3-30 hari)
Demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis aseptik
Urine
Leptospirosis ikterik, fase leptsopiremia dan fase imun (sering menjadi satu)
Demam, nyeri kepala, mialgia, gagal ginjal, hipotensi, manifestasi pneumonia, hemoragik, leukositosis
Darah, cairan serebrospinal (minggu pertama) dan urin (minggu kedua)
Sumber: Sub Direktorat Zoonosis, 2002

Diagnosis leptospirosis dapat dibagi ke dalam tiga klasifikasi yaitu :
  • Suspek, bila terdapat gejala klinis, tanpa dukungan tes  labotatorium.
  • Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu leptotek Dri Dot atau leptotek Lateral Flow.
  • Definitif, bila pemeriksaan laboratorium secara langsung positif atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT/ELISA menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer empat kali atau lebih rendah (Sub Direktorat Zoonosis, 2002).
Gejala klinis leptospirosis adalah sebagai berikut (Sub Direktorat Zoonosis, 2002):
·                                 Demam ringan atau tinggi, disertai menggigil yang bersifat remitten;
·                                 Nyeri kepala, dapat berat atau ringan disertai nyeri retro-orbital;
·                                 Badan lemah, anoreksia, mual, muntah, serta diare;
·                                 Kencing berkurang dan berwarna kecoklatan;
·                                 Adanya ruam makulopapular serta conjunctival suffusion;
·                                 Adanya nyeri otot dan nyeri tekan pada punggung, paha, dan betis;
·                                 Adanya splenomegali dan hepatomegali.
Faktor risiko adalah berbagai keadaan yang karena kuat atau lemahnya dapat berhubungan terhadap terjadinya suatu penyakit. Studi yang dilakukan pada suatu wilayah menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempunyai hubungan dengan kejadian leptospirosis pada masyarakat adalah :
·         Hygiene perorangan yang berhubungan dengan jenis pekerjaan dan kebiasaan hidup sehari-hari.
·         Usia. Kasus penderita terbanyak pada usia 15-69 tahun (Murtiningsih, dkk, 2005).
·         Kualitas rumah mempengaruhi kejadian leptospirosis. Rumah yang berkualitas buruk akan memberi peluang reservoir untuk selalu berada didalam atau sekitar rumah. Kualitas rumah adalah kondisi fisik rumah yang didasarkan pada keadaan dinding rumah dan plafon yang baik (Waluyo, 1998).
·         Pengetahuan masyarakat akan leptospirosis meliputi pengetahuan tentang reservoir, cara penularan, pemberantasan, pencegahan ataupun pengobatan serta fungsi unit-unit pelayanan kesehatan masyarakat setempat akan turut mempengaruhi kejadian leptospirosis (Waluyo, 1998).
·         Lingkungan merupakan salah satu faktor risiko kejadian leptospirosis. Lingkungan yang buruk, seperti adanya genangan air, sampah, yang tidak dikelola dengan baik,daerah rawan banjir saat musim hujan, tanah yang lembab dan berlumpur akan meningkatkan kejadian leptospirosis. Karena pada lingkungan demikian sangat potensial bagi perkembangbiakan tikus sebagai reservoir dan Leptospira sp. Sebagai agen leptospirosis (Spira, 1998).

6.                  Landasan Teori
            Berdasarkan tinjauan pustaka, diperoleh landasan teori sebagai berikut :
  1. Faktor risiko adalah berbagai keadaan yang karena kuat atau  lemahnya dapat berhubungan terhadap terjadinya suatu penyakit. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis pada masyarakat adalah perilaku manusia, faktor lingkungan abiotik, serta lingkungan biotik (Ristiyanto,2005)
  2. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa faktor risiko leptospirosis mempunyai hubungan dengan hygiene perorangan, umur, pekerjaan, kualitas rumah, pengetahuan, serta kondisi lingkungan (Fahmi,2005)
  3. Lingkungan biotik yang mempengaruhi kejadian leptospirosis meliputi pola tanam, kepadatan tikus, jenis tikus, dan vegetasi. Pola tanam yang intensif akan meningkatkan jumlah tikus karena tersedianya pakan, shingga tikus dapat berkembangbiak secara aktif sepanjang tahun. Lingkungan yang demikian akan memperbesar peluang penularan leptospirosis karena tingginya kepadatan dan jenis tikus (Sudarmaji, 2004).
  4. Studi dinamika penularan leptospirosis adalah penelitian berbagai faktor risiko yang berasosiasi terhadap kejadian leptospirosisi dengan mengkaji aspek perilaku manusia dan aspek lingkungan. Bertujuan untuk memperoleh informasi dalam rangka penetapan tindakan encegahan leptospirosisi, agar tidak menular pada masyararakat yang lebih luas (Ristiyanto, 2005).















7.                  Hipotesis
            Dari landasan teori di atas dapat dibuat hipotesis bahwa: faktor perilaku manusia, faktor lingkungan abiotik , faktor lingkungan biotik, dan faktor pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko yang mempengaruhi tingginya kasus leptospirosis pada masyarakat di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan.

8.                  Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan Kota Jakarta Utara Propinsi DKI Jakarta dengan pertimbangan bahwa pada ketiga kecamatan tersebut ditemukan kasus leptospirosis terbanyak saat terjadi banjir di Jakarta tahun 2002.


9.                  Instrumen dan Subjek Penelitian
A.          Instrumen penelitian
·         Buku rekam  medik penderita leptospirosis yang bertempat tinggal di wilayah studi.
·         Kuisioner untuk mendapatkan informasi dari data primer dari responden yaitu masyarakat yang pernah menjadi penderita leptospirosis. Kuisioner dibuat terstruktur yang digunakan baik pada kasus maupun kontrol
·         Check list, yaitu lembar pertanyaan untuk pengamatan atau observasi lingkungan rumah yang ditempati oleh kasus maupun control.
·         Peralatan untuk keperluan menangkap sampel tikus yang berada di sekitar daerah kasus leptospirosis di wilayah studi.
·         Peralatan laboratorium untuk keperluan pemeriksaan darah sampel tikus yang ditangkap.
B.         Subjek penelitian
·         Penderita leptospirosis yang bertempat tinggal di wilayah studi yang pernah mendapatkan perawatan dan terdata di Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan rumah sakit.
·         Lingkungan abiotik dan lingkungan biotik yang pernah mengalami kasus leptospirosis di wilayah studi.
·         Pelayanan kesehatan yang tersedia di wilayah studi.

10.                  Cara Penelitian
A.     Pengambilan sampel
·         Dalam penelitian ini, untuk keperluan pengumpulan data dari penderita leptospirosis tidak menggunakan sampel melainkan mendata keseluruhan populasi penderita leptospirosis yang bertempat tinggal di tiga kecamatan yang menjadi wilayah studi. Penentuan populasi berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan rumah sakit yang pernah menerima pasien leptospirosis dari wilayah studi sejak tahun 2005-2009.
·         Pengambilan sampel tikus dilakukan dengan penentuan sampel teknik cluster sampling. Lokasi penangkapan tikus dan penyebaran alat penangkap tikus dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu di sekitar lokasi tempat tinggal penderita leptospirosis yang didata di wilayah studi.
B.     Metode pengumpulan data
Dalam pengambilan data, teknik yang digunakan antara lain :
·         Studi literatur yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi terkait penyakit leptospirosis dan bermanfaat untuk menentukan variable-variabel yang akan diteliti.
·         Data sekunder dan institusional yaitu data rekam medik penderita leptospirosis yang berasal dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta serta rumah sakit yang pernah menangani pasien penderita leptospirosis yang berasal dari wilayah studi sejak tahun 2005-2009.
·         Pengukuran dan pengamatan di lapangan untuk mengidentifikasi lingkungan biotik dan abiotik di wilayah studi.
·         Kuesioner dan wawancara terstruktur kepada masyarakat yang pernah terjangkit leptospirosis yang bertempat tinggal di dalam wilayah studi untuk mendapatkan data primer mengenai perilaku kasus.
C.     Jalannya penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti melakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu :
a)      Tahap persiapan
·   Identifikasi dan merumuskan masalah
·   Mengumpulkan data sekunder berupa studi literatur dan data rekam medik serta data penderita leptospirosis dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan rumah sakit
·   Pembuatan proposal penelitian da hipotesis penelitian
·   Persiapan penelitian berupa instrument penelitian dan kebutuhan administrasi untuk kelancaran penelitian
b)      Tahap pelaksanaan survey
·   Survey primer yaitu pengamatan di lapangan, penangkapan sampel tikus, kuesioner dan wawancara terstruktur dengan penderita leptospirosis di wilayah studi, dan pemeriksaan laboratorium sampel-sampel tikus yang telah ditangkap
·   Tabulasi dan pengolahan data hasil survey
c)      Tahap analisis dan kesimpulan
·   Data hasil survey yang telah ditabulasi dan diolah lalu digunakan untuk proses analisis
·   Uji hipotesis untuk membuktikan apakah perilaku manusia, lingkungan abiotik dan biotik serta pelayanan kesehatan di wilayah studi menjadi faktor risiko kejadian leptospirosis di wilayah studi.
·   Menganalisis dinamika penularan leptospirosis di wilayah studi dan kecenderungan tingkat risiko yang ditimbulkan.
D.     Metode analisis dan interpretasi data
·         Analisis deskriptif dimana data hasil tabulasi disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, tabulasi silang dan prosentase lalu dijelaskan untuk memperoleh gambaran mengenai hasil survey dan mempermudah dalam penyampaian informasi dari data survey.
·         Analisis evaluatif berupa analisis univariat dan bivariat untuk menguji hipotesis mengenai faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis di wilayah studi. Analisis regresi multivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dengan beberapa variabel bebas dan mengestimasi besarnya resiko (Odds Ratio) dari faktor penyebab terhadap kejadian leptospirosis dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 dan tingkat kepercayaan 5 %.


DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D. Aaron, 2002. Clinical Microbiology (Leptospira).  Emory University School of Medicine, Atlanta, Georgia. American Society for Microbiology. Washington, D.C.
Diarmita, I. K., 2005. Prevalensi Leptospirosis pada Sapi Bibit di Pulau Lombok. Program Pascasarjana Sains Veteriner, Unversitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2002. Menanggulangi Masalah Kesehatan Akibat Banjir. Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta.
Fahmi, 2005. Mewaspadai Leptospirosis di Musim Hujan. http://www.suarakaryaonline.com. Diakses pada tanggal 19 Mei 2010.
Herawati, L., dkk, 2005.Kajian Kasus Leptospirosis di Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan, Jawa Tengah.
Murtiningsih, Berty, 2003. Faktor Risiko Leptospirosis di Propinsi Yogyakarta dan Sekitarnya. Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ristiyanto, 2005. Pencegahan Leptospirosis Melalui Pengendalian TIkus.  Modul Kuliah Promosi dan Proyeksi Kesehatan Tropis. Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga. Jawa Tengah.
Rusmini, 2006. Studi DInamika Penularan Leptospirosis di Desa Bakung Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Tropis, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Soedin, K., dkk, 1999. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Sub Direktorat Zoonosis Ditjen PPM dan PLP, 2002. Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Waluyo, Hestu. 2005. Hubungan Fakto-Faktor Pengetahuan Persepsi dan Perilaku Pendidikan dengan Kejadian malaria di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Zelvino, Evi. 2005. Tujuh Orang Terjangkit Leptospirosis. http://www.tempointeraktif.com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.


Puji Tuhan... \\(^_^)//
Proposal ini sudah cukup membantu saia untuk mendapatkan nilai yang cukup membuat saia tersenyum senang.. =) Semoga bermanfaat..

2 komentar:

  1. kak saya tertarik dengan proposal yang kakak buat.. apakah saya bisa berdiskusi dengan kaka? bagaimana caranya kak?

    BalasHapus